Sabtu, 4 April 2009 | 10:59 WIB
Oleh Herlambang Jaluardi
Alkisah, di Kampung Cogreg, sekitar abad ke-18, Ibu Kahir sedang mencuci pakaian di Sungai Cimande. Ia melihat segerombolan monyet sedang mencari buah di tepi sungai. Tak lama monyet-monyet itu terusik kehadiran seekor macan. Ibu Kahir terus tertegun karena sesuatu yang buruk dapat segera terjadi.
Dugaan Ibu Kahir benar. Macan yang terganggu dengan jeritan monyet segera menyerang secara deras dengan tangannya yang kokoh. Namun, monyet-monyet itu tidak takut. Mereka justru berkelit ke arah bawah tubuh macan dan menggigit bagian perut macan.
Macan itu juga diserang monyet lain menggunakan batang kayu. Terpancing emosinya, macan justru kembali digigit monyet yang ada di bawahnya.
Dalam perjalanan pulang Ibu Kahir mengingat-ingat perkelahian tersebut. Sesampai di rumah, Pak Kahir murka dan hendak menampar istrinya karena terlambat pulang. Namun, tamparan itu hanya mendera angin.
Pak Kahir terkejut dan emosinya pun mereda. Ia bertanya kepada istrinya bagaimana ia bisa menghindari serangan. Ibu Kahir pun menceritakan secara rinci perkelahian antara macan dan gerombolan monyet.
Pak Kahir lalu mempelajari gerakan yang diperagakan istrinya dengan cermat. Tak lama lahirlah jurus perkelahian yang kini disebut jurus Kelid Pamonyet, yaitu gerakan yang menggambarkan kelincahan berkelit gaya monyet. Gerakan serangan macan yang bertumpu pada kekuatan tangan yang kokoh disebut jurus Pamacan. Adapun serangan menggunakan batang kayu diistilahkan sebagai jurus Pepedangan. Kisah asal-usul aliran silat Cimande yang dituliskan praktisi pencak silat O'ong Maryono di situs internet itu merupakan mitos. Ada banyak versi tentang sejarah salah satu kebudayaan tradisional Jawa Barat itu.
"Banyak situs internet yang menorehkan sejarah Cimande. Sebagian ditulis oleh orang Amerika maupun Eropa yang menekuni aliran Cimande," kata Ketua Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Aliran Cimande Rahmad Ace Sutisna.
Ace mengaku sebagai keturunan keenam Mbah Rangga. Berdasarkan catatan Gending Raspuzi, praktisi pencak silat yang sedang menyusun buku Aliran Pokok Pencak Silat Jabar, Mbah Rangga adalah penerus kedua aliran Cimande setelah diciptakan Pak Kahir.
Balutan spiritualitas
Ace tidak menampik bahwa sejumlah gerakan dalam aliran pencak silat Cimande terilhami dari gerakan hewan. "Tetapi, aliran ini diimbuhi dengan spiritualitas yang dalam sehingga pelakunya bisa mengendalikan emosi dengan akal sehat," ujar tokoh masyarakat Desa Cimande, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, ini.
Secara umum gerakan Cimande terbagi menjadi empat kelompok, yaitu Kelid Duduk, Kelid Berdiri, Pepedangan, dan Tepak Selancar. Semua gerakan itu didukung kuda-kuda yang umumnya berjarak sejauh jangkauan pukulan dan tendangan lawan. Hal itu berguna untuk menghindar dan segera membalas serangan.
Setelah lawan melepas serangan, pesilat Cimande balas menyerang untuk melumpuhkan lawan. Prinsipnya, kata Ace, adalah tangkis-pukul-tangkis-pukul. "Nanti kalau kawan kesakitan, tinggal kita obati," ujarnya.
Cimande memang memiliki ramuan khusus yang ampuh untuk mengobati bengkak dan patah tulang. Ramuan itu berupa cairan yang diolah dari minyak kelapa dan tebu kuning. Menurut Ace, batang tebu kuning itu hanya ada di Desa Cimande dan sekitarnya.
Dalam balutan spiritual dan pendidikan moral untuk murid Cimande, Ace berharap para murid bisa berlaku rendah hati kepada semua orang. "Apalagi, ada ramuan untuk mengobati lawan yang terluka. Mudah-mudahan murid bisa disenangi teman dan disegani lawan," katanya.